Sepuluh prajurit TNI yang berbaris rapi
menarik pelatuk senjata laras panjang mereka. Tembakan salvo terdengar
siang itu, Minggu 9 Juni 2013, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Selatan, mengiringi prosesi pemakaman militer Ketua MPR RI Taufiq
Kiemas. Taufiq meninggal sehari sebelumnya di Singapore General Hospital
karena penyakit jantung yang sejak lama dideritanya.
Istri
almarhum Taufiq Kiemas, Megawati Soekarnoputri, berjalan perlahan
bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menuju liang lahat tempat hendak
dikuburkannya jasad Taufiq yang dua jam sebelumnya tiba di Bandara Halim
Perdanakusuma dari Singapura dijemput pesawat Hercules TNI Angkatan
Udara.
Presiden SBY memimpin langsung upacara pemakaman sang
Ketua MPR. Sejak mendengar kabar wafatnya Taufiq Kiemas sore kemarin,
Sabtu 8 Juni 2013, SBY menyatakan rasa duka citanya secara terbuka. Ia
mengajak rakyat Indonesia dua hari mengibarkan bendera setengah siang
sebagai penghormatan kepada almarhum, dan meminta masyarakat mendoakan
Taufiq.
SBY juga memerintahkan dua pesawat TNI terbang ke
Singapura untuk memulangkan jenazah Taufiq ke tanah air. SBY pula yang
langsung menjemput jenazah Taufiq Kiemas setibanya di Bandara Halim
Perdanakusuma. Respons cepat SBY ini wajar karena Taufiq adalah pemimpin
salah satu lembaga tinggi negara. Ini masih ditambah dengan terjalinnya
hubungan baik antara SBY dan Taufiq Kiemas meskipun keduanya
berseberangan secara politik.
Wakil Ketua DPR dan mantan
Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung, menceritakan detik-detik
menjelang kematian Taufiq Kiemas. Menurutnya, Taufiq wafat setelah pihak
keluarga memutuskan untuk mematikan alat pacu jantungnya. Keputusan itu
diambil setelah berkonsultasi dengan dokter.
Pramono yang ikut
mendampingi Taufiq Kiemas di saat-saat terakhirnya, mengatakan sekitar
pukul 19.00 waktu Singapura Sabtu kemarin, Megawati berkata padanya
ritme atau denyut nadi Taufiq masih ada hanya karena alat pemacu jantung
yang dipasang di tubuh Ketua MPR itu.
“Keluarga kemudian
berkonsultasi dengan dokter, dan akhirnya alat pemacu jantung itu
dimatikan. Tak lama, beliau wafat tepat pukul 19.05,” kata Pramono.
Untuk diketahui, Taufiq bertahun-tahun memang hidup dengan bantuan alat
pacu jantung. Ia menjalani operasi pemasangan alat itu di Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita, Jakarta, pada Oktober 2005. (Baca:
Riwayat Sakit Taufiq Kiemas)
Jangkar pemersatuMantan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengibaratkan Taufiq Kiemas
sebagai jangkar pemersatu bangsa. Dalam praktik politik sehari-hari,
Taufiq kerap memilih bersikap fleksibel ketimbang kaku demi
mempersatukan para pihak yang berseteru.
Taufiq Kiemas lahir di
tengah kekacauan saat tentara Sekutu menyerahkan kekuasaan atas
Indonesia pada Jepang pada tahun 1942. Nama aslinya sesungguhnya
Tastafvian Kiemas, namun pada akhirnya lebih dikenal dengan Taufiq
Kiemas.
Dalam buku “Jembatan Kebangsaan: Biografi Politik Taufiq
Kiemas” yang diedit Imran Hasibuan dan Muhammad Yamin, dikisahkan sejak
kecil Taufiq Kiemas kerap diajak berdiskusi politik oleh keluarganya.
Ini karena ayahnya, Tjik Agus Kiemas yang berdarah Palembang, merupakan
pegawai Persatuan Warung Bangsa Indonesia yang bernaung di bawah
Masyumi, partai Islam terbesar ketika itu.
Ibunda Taufiq,
Hamzatun Rusjda yang berdarah Minang, juga amat berperan dalam kehidupan
Taufiq. Ia menyekolahkan putranya ke sekolah-sekolah terbaik. Meskipun
aktif di Masyumi, Hamzatun banyak bergaul dengan istri tokoh-tokoh
Murba, partai beraliran kini yang didirikan Tan Malaka sang mantan
ideolog PKI.
Taufiq Kiemas yang besar pada masa agresi militer II
Belanda, kemudian tumbuh menjadi anak yang berani dan berjiwa
nasionalis. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Masyumi yang Islam-nya
kuat, Taufiq selalu disekolahkan ke sekolah sekuler.
Hingga pada
19 Agustus 1960, Taufiq mendengarkan pidato Presiden Soekarno yang
membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di hadapan pengurus
kedua partai itu. Taufiq langsung terkesan pada Soekarno. Ia berpikir,
membubarkan partai politik langsung di depan para pemimpin partai itu
adalah perbuatan yang luar biasa.
Taufiq remaja pun jatuh cinta
pada Soekarno. Buku-buku Bung Karno dilahapnya. Begitu duduk di bangku
kuliah, Taufiq bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI). Ia bahkan pernah menimba ilmu dari tokoh-tokoh PKI ketika karena
suatu hal dijebloskan ke sel tahanan Korps Polisi Militer Kodam
Sriwijaya, Palembang.
Satu setengah tahun mendekam di penjara
bersama tokoh-tokoh politik nasional dari berbagai aliran membuat Taufiq
mengambil kesimpulan: kalau mau main politik harus punya jaringan luas,
dan untuk membina jaringan politik, sikap apriori sedapat mungkin harus
dihilangkah, bahkan terhadap lawan politik sekalipun.
Sikap
lentur ini kemudian menjadi ciri khas Taufiq. “Taufiq Kiemas adalah
tokoh dengan kategori liminal (berposisi antara) yang bisa mengatasi
batas-batas pengelompokan karena pertautannya dengan beragam aliran,”
kata pengamat politik Yudi Latif.
Damaikan Mega dan Gus DurBuku
Derek Manangka yang berjudul “Jurus & Manuver Politik Taufiq
Kiemas: Memang Lidah Tak Bertulang” menceritakan masa ketika PDIP menang
pemilu tahun 1999, namun Megawati justru gagal menjadi presiden.
Kegagalan itu menimbulkan huru-hara dan perusakan fasilitas umum.
Semangat politisi PDIP pun kendor karena meski menang pemilu, mereka
kalah bertarung di parlemen.
Reaksi PDIP itu, kata Derek, dibaca
oleh para pendukung Gus Dur. Mereka sadar pemilihan Gus Dur sebagai
presiden bisa memecah pertemanan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama itu dengan Megawati. Padahal sebelumnya mereka berdua bahu-membahu
bersama menggerakkan reformasi.
“Maka hanya beberapa menit
setelah Gus Dur memenangkan pertarungan politik, orang-orang Gus Dur
seperti Khofifah (Indar Parawansa) dan Saifullah Yusuf mulai mendekati
Mega,” ujar Derek. Orang pertama yang mereka dekati adalah Taufiq
Kiemas.
Dalam lobi itu, mereka meminta Mega menjadi wakil
presiden mendampingi Gus Dur. Pendekatan kubu Gus Dur ini didengar para
politisi PDIP. Mereka marah karena merasa telah ditelikung PKB dan Gus
Dur. Megawati sendiri dikabarkan merasakan hal yang sama.
Namun
Taufiq Kiemas mengambil posisi berbeda. Dia menerima tawaran kubu Gus
Dur. Taufiq beralasan, jika kursi wakil presiden tak diambil Megawati,
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang saat itu dipanglimai Wiranto
kemungkinan besar akan mengisinya.
“TK membaca Jenderal Wiranto
yang di masa pemerintahan Habibie menjabat Panglima ABRI, diam-diam
sudah mempersiapkan diri untuk maju dalam acara sidang memperebutkan
kursi wakil presiden,” kata Derek. Taufiq Kiemas lalu menemui Gus Dur
dan bertanya bagaimana caranya mengatasi Wiranto. Gus Dur menyatakan,
sebagai presiden, dia bisa meminta Wiranto yang Panglima ABRI itu untuk
tidak maju sebagai calon wakil presiden.
Taufiq lega. Sekarang
tinggal bagaimana menjelaskan pada PDIP. Kepada PDIP, Taufiq menyatakan
jalan oposisi terhadap pemerintahan Gus Dur akan menjebak partai banteng
itu. “Saya ingatkan, kalau kita tidak masuk dalam pemerintahan
sekarang, padahal partai kita meraih suara terbanyak dalam pemilu,
berarti kita sudah masuk dalam jebakan. Sangat tidak masuk akal kalau
sebuah partai pemenang pemilu berhasil dijebak partai-partai kecil,”
kata dia.
Sikap Taufiq yang anti-
mainstream ini tak
selalu dituruti. Menjelang Kongres PDIP April 2010 misalnya, Taufiq
muncul dengan ide mendorong koalisi PDIP dengan pemenang Pemilu. Taufiq
yakin, bila PDIP bersedia mengubah haluannya, prospek dan masa depan
partai banteng itu akan lebih cerah. Namun ternyata Kongres tetap
memutuskan PDIP berada di luar pemerintahan.
Damaikan Mega dan SBYBuku
“Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono” karya Garda Maeswara
mengisahkan tentang perseteruan antara SBY dengan Taufiq Kiemas dan
Megawati. Ketika itu beberapa survei tahun 2003 memunculkan nama SBY
sebagai calon presiden. SBY setidaknya menempati urutan lima besar.
Melambungnya nama SBY itu berkat Partai Demokrat yang berdiri tahun
2001.
Megawati yang saat itu menjadi presiden menggantikan Gus
Dur, punya keinginan duduk lagi di kursi RI 1 pada pertarungan Pemilu
2004. Namun dia menyadari kepopuleran SBY melesat begitu cepat dan dapat
menyingkirkan dirinya.
“Otomatis Megawati kelimpungan. Ia harus
meningkatkan kewaspadaan dengan melakukan tindakan preventif, dengan
melakukan upaya penggembosan agar kepopuleran SBY tidak semakin
melonjak, tetapi surut dan tenggelam. Maka mulai timbul beberapa
gesekan-gesekan di antara keduanya di dalam internal pemerintahan,” kata
Garda.
Periode Januari-Februari 2004, SBY beberapa kali tidak
dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan
keamanan, misalnya soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal SBY
saat itu menjabat sebagai Menkopolkam.
Puncak perseteruan Mega
dangan SBY terjadi pada 1 Maret 2004, saat Taufiq Kiemas menyebut SBY
sebagai “jenderal kekanak-kanakan” karena mengadukan masalah internal
pemerintahan ke wartawan. “Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya
merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa
dikucilkan, lebih baik mundur,” kata Taufiq pedas.
Meskipun
keesokan harinya SBY mengatakan tidak akan menanggapi pernyataan Taufiq,
pada akhirnya ia memilih keluar dari Kabinet Gotong Royong. “Karena dia
merasa tugasnya di kementerian sudah banyak diambil alih oleh Presiden
Megawati,” ujar Garda.
Tanggal 11 Maret 2004, SBY resmi mundur
dari jabatannya sebagai Menkopolkam. Keputusannya itu membuat SBY makin
populer. Sebaliknya, pamor Megawati kian tenggelam. Pada Pemilu 2004,
SBY pun terpilih menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati. Kepopuleran
SBY ini bahkan masih berlanjut di Pemilu 2009 yang kembali ia menangkan –
lagi-lagi dengan mengalahkan Megawati.
Sejak perseteruan tahun
2004 silam, Megawati dan SBY tidak pernah benar-benar berbaikan. Sudah
jadi rahasia umum komunikasi politik di antara mereka buruk. Megawati
tidak pernah mendatangi pelantikan SBY sebagai presiden. Ketimbang
bertemu SBY, Mega memilih berkebun di rumahnya. Megawati juga menghindar
berjabat tangan dengan SBY dalam pengundian nomor parpol peserta Pemilu
2009 di kantor KPU.
Sebaliknya, hubungan antara Taufiq Kiemas
dan SBY justru membaik dari tahun ke tahun. Posisi Taufiq sebagai Ketua
MPR di kemudian hari mempermudah dia menjalin komunikasi dengan rival
politiknya itu. Taufiq dan SBY kerap bertemu dalam acara kenegaraan.
Taufiq bahkan pernah mengunjungi SBY di luar kapasitasnya sebagai Ketua
MPR.
Belum lama ini misalnya, Desember 2012, Taufiq Kiemas
didampingi putrinya Puan Maharani menyambangi SBY di Istana Negara untuk
menghadiahi sang Presiden buku biografi 70 tahunnya setebal 471 tahun
yang berjudul “Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam.” Dalam pertemuan
itu, keduanya berbincang hangat dan saling melempar canda tawa.
SBY
pun menjaga hubungan baik dengan Taufiq. Saat Taufiq Kiemas menerima
gelar doktor kehormatan dari Universitas Trisakti, SBY hadir di sana.
Maka dalam pemakaman Taufiq di Kalibata, SBY memuji almarhum sebagai
sosok konsiliator. “Mari kita beri penghormatan tinggi atas darma bakti
almarhum,” kata SBY.(np)