Senin, 03 Juni 2013

Kata Serapan asing, yang awut awutan tapi sudah terlanjur dipakai

Dewasa ini, cukup banyak kata asing yang di-indonesia-kan dengan cara yang menurut saya ‘awut-awutan’. Kata ‘account’ diserap menjadi ‘akun’, ‘cyber’ menjadi ‘siber’, ‘gamer’ menjadi ‘gimer’, ‘feature’ menjadi ‘fitur’, ‘single’ menjadi ‘singel’, ‘partner’ menjadi ‘patner’, ‘discount’ menjadi ‘diskon’, ‘counter’ menjadi ‘konter’. Pokoknya, kata-kata ini diserap ‘semau gue’ dan ‘main terabas’ saja.
Dalam hal penyerapan dari kata asing, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia dahulu mempunyai ‘sikap’ yang sama, yaitu pengejaannya diadaptasi sesuai dengan lafalnya (pronunciation). Bahasa Indonesia mengikuti lafal bahasa Belanda, sedangkan bahasa Malaysia mengikuti lafal bahasa Inggris. Oleh karenanya, dalam bahasa Malaysia sampai sekarang bisa ditemui kosakata (yang sesuai dengan lafal bahasa Inggrisnya) seperti: blaus (dari ‘blouse’), skru (dari ‘screw’), kempen (dari ‘campaign’), geran (dari ‘grant’), siling (dari ‘ceiling’), resipi (dari ‘recipe’), kek (dari ‘cake’), gris (dari ‘grease). Dalam bahasa Indonesia kata serapan yang diadaptasi dari lafal bahasa Belanda sebanyak 4.000 kata, misalnya ‘blus’ (dari ‘bloes’), sekrup (dari ‘schroef’), kampanye (dari ‘campagne’), plafon (dari ‘plafond’), resep (dari ‘recept), sekop (dari ‘schop’).
Namun menurut Anton Moeliono, semenjak tahun 1972, pedoman yang dipakai untuk kata serapan tidak lagi memperhatikan lafalnya, tetapi dari bentuk tulisannya. Menurut saya, inilah awal dari keamburadulan kata-kata baru yang diserap. Orang seakan diberi kebebasan tanpa koridor untuk membuat kata serapan seturut seleranya. Contohnya, kata ‘akun’ yang diserap dari ‘account’. Bandingkan dengan istilah Malaysia yang menuliskannya dengan ‘akaun’ (setidak-tidaknya pelafalannya boleh dikatakan sama). Juga kata ‘counter’ dan ‘discount’ yang seenak udelnya dijadikan kata serapan ‘konter’ dan ‘diskon’ dalam bahasa Indonesia. Kita bandingkan lagi dengan bahasa Malaysia yang menuliskannya dengan ‘kaunter’ dan ‘diskaun’.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa secara estetika, ‘kaunter’ dan ’diskaun’ lebih bagus daripada ‘konter’ dan ‘diskon’, karena ini masalah selera yang pada masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi yang saya sesalkan adalah kebijakan pusat bahasa yang mengganti panduan pemadanan kata serapan dari pelafalan menjadi penulisan. Kata-kata asing ini menjadi bermakna justru karena pelafalannya (pada saat masuk ke dalam telinga kita). Jadi sangat ‘kampungan’ kalau kata Inggris ‘feature’ (dengan pelafalan ‘ficier’) lantas kita jadikan ‘fitur’. Meskipun relatif sedikit, di zaman dahulu, kita sudah membuat kata serapan dari bahasa Inggris dengan elegan sesuai dengan pelafalannya, seperti misalnya istilah ’kiper’ (dari kata Inggris ’keeper’), skuter (dari ’scooter’).
Nampaknya tidak semua istilah asing bisa kita jadikan kata serapan. Lantas apa alternatif kita kalau sesuatu kata terasa kurang ’sreg’ untuk dijadikan kata serapan? Menurut saya, lebih baik dan lebih elok kalau kata bersangkutan kita tulis dengan ejaan bahasa aslinya. Jadi kita tetap tulis dengan ’feature’ ketimbang ’fitur’ yang membuat membuat sakit mata. Tuliskan: seorang penyanyi akan meluncurkan album single-nya, jangan ditulis dengan ’album singel-nya’. Atau apabila kita sanggup untuk mencarikan padanan dalam bahasa kita, tak ada jeleknya untuk diterapkannya. Misalnya, kata ’bully’ yang dewasa ini cukup tenar, menurut Anton Moeliono dapat dipadani dengan kata ’merisak’. Janganlah kita menuliskannya menjadi ’membuli’. Alasannya? It looks stupid and ugly.


sumber :

http://bahasa.kompasiana.com/2013/06/03/protes-terhadap-penyerapan-kata-asing-yang-awut-awutan-565414.html

0 komentar:

Posting Komentar