Dewasa ini, cukup banyak kata asing yang di-indonesia-kan dengan cara yang menurut saya ‘awut-awutan’. Kata ‘account’ diserap menjadi ‘akun’, ‘cyber’ menjadi ‘siber’, ‘gamer’ menjadi ‘gimer’, ‘feature’ menjadi ‘fitur’, ‘single’ menjadi ‘singel’, ‘partner’ menjadi ‘patner’, ‘discount’ menjadi ‘diskon’, ‘counter’ menjadi ‘konter’. Pokoknya, kata-kata ini diserap ‘semau gue’ dan ‘main terabas’ saja.
Dalam hal
penyerapan dari kata asing, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia dahulu
mempunyai ‘sikap’ yang sama, yaitu pengejaannya diadaptasi sesuai dengan
lafalnya (pronunciation).
Bahasa Indonesia mengikuti lafal bahasa Belanda, sedangkan bahasa
Malaysia mengikuti lafal bahasa Inggris. Oleh karenanya, dalam bahasa
Malaysia sampai sekarang bisa ditemui kosakata (yang sesuai dengan lafal
bahasa Inggrisnya) seperti: blaus (dari ‘blouse’), skru (dari ‘screw’), kempen (dari ‘campaign’), geran (dari ‘grant’), siling (dari ‘ceiling’), resipi (dari ‘recipe’), kek (dari ‘cake’), gris (dari ‘grease). Dalam bahasa Indonesia kata serapan yang diadaptasi dari lafal bahasa Belanda sebanyak 4.000 kata, misalnya ‘blus’ (dari ‘bloes’), sekrup (dari ‘schroef’), kampanye (dari ‘campagne’), plafon (dari ‘plafond’), resep (dari ‘recept), sekop (dari ‘schop’).
Namun menurut
Anton Moeliono, semenjak tahun 1972, pedoman yang dipakai untuk kata
serapan tidak lagi memperhatikan lafalnya, tetapi dari bentuk
tulisannya. Menurut saya, inilah awal dari keamburadulan kata-kata baru
yang diserap. Orang seakan diberi kebebasan tanpa koridor untuk membuat
kata serapan seturut seleranya. Contohnya, kata ‘akun’ yang diserap dari
‘account’. Bandingkan
dengan istilah Malaysia yang menuliskannya dengan ‘akaun’
(setidak-tidaknya pelafalannya boleh dikatakan sama). Juga kata ‘counter’ dan ‘discount’
yang seenak udelnya dijadikan kata serapan ‘konter’ dan ‘diskon’ dalam
bahasa Indonesia. Kita bandingkan lagi dengan bahasa Malaysia yang
menuliskannya dengan ‘kaunter’ dan ‘diskaun’.
Saya tidak hendak
mengatakan bahwa secara estetika, ‘kaunter’ dan ’diskaun’ lebih bagus
daripada ‘konter’ dan ‘diskon’, karena ini masalah selera yang pada
masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi yang saya sesalkan adalah
kebijakan pusat bahasa yang mengganti panduan pemadanan kata serapan
dari pelafalan menjadi penulisan. Kata-kata asing ini menjadi bermakna
justru karena pelafalannya (pada saat masuk ke dalam telinga kita). Jadi sangat ‘kampungan’ kalau kata Inggris ‘feature’
(dengan pelafalan ‘ficier’) lantas kita jadikan ‘fitur’. Meskipun
relatif sedikit, di zaman dahulu, kita sudah membuat kata serapan dari
bahasa Inggris dengan elegan sesuai dengan pelafalannya, seperti
misalnya istilah ’kiper’ (dari kata Inggris ’keeper’), skuter (dari ’scooter’).
Nampaknya
tidak semua istilah asing bisa kita jadikan kata serapan. Lantas apa
alternatif kita kalau sesuatu kata terasa kurang ’sreg’ untuk dijadikan
kata serapan? Menurut saya, lebih baik dan lebih elok kalau kata
bersangkutan kita tulis dengan ejaan bahasa aslinya. Jadi kita tetap
tulis dengan ’feature’ ketimbang ’fitur’ yang membuat membuat sakit mata. Tuliskan: seorang penyanyi akan meluncurkan album single-nya, jangan
ditulis dengan ’album singel-nya’. Atau apabila kita sanggup untuk
mencarikan padanan dalam bahasa kita, tak ada jeleknya untuk
diterapkannya. Misalnya, kata ’bully’
yang dewasa ini cukup tenar, menurut Anton Moeliono dapat dipadani
dengan kata ’merisak’. Janganlah kita menuliskannya menjadi ’membuli’.
Alasannya? It looks stupid and ugly.
sumber :
0 komentar:
Posting Komentar